hhoooaaammmmmmmm.....
udh lma jg y gk ngentri chapter,,
pda kangeeennn gakkkkk....?????? heheeee....ngarep.com :D
di chapter sebelum ny,ada yg sneng dngn tulisan warna-warni qu... tpi ad jga yg kompleinn...(bkin mata jdi sukses "juling..") hahahahahahhaaaa...
#tepok jidat,dulu....
Qt mainin warna ny lgi nyokkk di chapter ini,,, :P (tpi gk seramai yg sblum ny koq... ^_^)
LANGsung aja yakkk...
nih dia,,, ChaPter 9
cekidot....----->>>>>
CHAPTER 9 ,,,::
Ternyata Andi........
Beberapa hari setelah Andi menelponku.
Dari dalam kamar mandi kudengar hp-ku berdering terus. Buru-buru kuselesaikan mandiku. Kulihat layar hp-ku, ternyata si Edi yang menelponku.
“woi,Ed. Dari tadi nelpon aja, knapa emangnya?” tanyaku saat kutelpon balik dia.
“Rin, aku bisa minta tolong gak? Gini, tadi si Andi minta tolong dijemput kerumahnya. Cuma mendadak aku ada callingan nih. apa kau bisa menjemputnya? Ntar kukasih tau alamatnya deh.” jelas Edi panjang lebar.
“eh... gimana ya?” tanyaku meragu.
“bisa ya.. ntar kukasih tau ke Andi kalo kau yang menjemputnya. Ntar kuganti deh uang minyaknya.” sogok edi.
“okey. Smsin aja alamatnya ya.. aku lagi mandi nih.” kataku seraya menutup pembicaraan kami.
Selesai mandi dan bersiap-siap, aku segera menuju alamat yang di smskan Edi untuk menjemput Andi. Aku yang sudah di depan pintunya mendadak nyaliku menciut. Kubalikkan badan, mengurungkan niat. Tak berapa lama, pintu itu terbuka. Langkahku terhenti.
“hey, sedang apa kau disitu?” tanya orang itu. Kubalikkan badanku, ternyata Andi.
“kau sendiri sedang apa disitu?” kubalik tanya.
“ini rumahku.” singkatnya.
“oo..rumahmu, kukira tadi aku sudah dirumahku.” sahutku bingung mau jawab apa.
“sejak kapan rumahmu menjadi rumahku?” mendengar dia berkata seperti itu, aku diam mematung dengan kepala tertunduk malu.
“kau tidak mau masuk ke dalam? Edi udah bilang koq kalo kau yang jemput aku.” candanya dengan wajah tersenyum setengah hati. Aku mengernyitkan alisku, melihat ekspresiku dia hanya membuka pintu selebar-lebarnya.
Kulangkahkan ringan kakiku. Kuperhatikan sekeliling ruang tamunya. Sepi, tak ada siapa pun.
“aku tau apa yang ada di pikiranmu. Aku tinggal sendiri di sini.” katanya mulai membuka obrolan.
“sendiri? Orang tuamu?” tanyaku membuat raut wajahnya berubah.
“mereka sudah meninggal.” katanya dengan nada datar. Kudekati dia yang duduk di kursi piano yang ada di ujung ruang tamu.
“maaf. Aku nggak tau.” kataku menyesal.
“kau mau kuajari main piano?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“aku nggak tau kalau kau bisa main piano.” jawabku mengikuti alur pembicaraannya.
Kududuk di sampingnya, dengan perlahan Andi mulai memainkan jemarinya. Nada yang tercipta begitu merdu. Kupandangi dia yang tetap memainkan jemarinya dengan tenang. Dia menutup matanya seolah merasakan irama yang tercipta lebih mendalam. Kupandangi wajahnya yang tenang. Alisnya yang tertata rapi, dagunya yang panjang . Senyumnya indah.
“ternyata kau tampan juga saat tersenyum.” kataku menghentikannya memainkan piano.
“apa kau bilang?” tanyanya, menatap mataku. Aku tersenyum padanya, balik dia tersenyum padaku. Dengan jarak yang tak kurang dari sejengkal ini, aku bisa merasakan ketenangan di matanya. Paling tidak untuk saat ini.
“kau tau? Ibuku selalu bahagia ketika melihatku memainkan piano ini. Katanya seakan mendengar alunan irama dari surga.” katanya, memalingkan wajahnya.
“aku percaya itu.” kataku memberi respon.
“berbeda dengan ayahku.. kami selalu bersaing untuk mendapat pujian dari ibuku.”
“boleh aku tau, bagaimana mereka meninggal?” tanyaku dengan nada rendah. Andi menatapku, aku takut.. apa aku baru saja salah ngomong..
“ceritanya panjang..” katanya dengan suara lirih.
“aku punya banyak waktu.” kataku bersemangat.
“kecelakaan yang kurasa terjadi karna aku. Saat itu, aku ingin dibelikan satu set lengkap peralatan musik. Aku bersikeras agar mereka membelikannya untukku. Setelah itu mereka berdua pergi menuju toko alat musik, mereka membelinya. Tapi sebuah kecelakaan beruntun terjadi saat mereka hendak pulang. Herannya, alat musik itu masih utuh sampai dirumah tapi tidak kedua orangtuaku yang hanya tinggal jenazah. Jenazah yang terbujur kaku di dalam peti mati. Seharusnya saat itu aku tak harus egois...” dengan berurai air mata dia menceritakan semuanya. Kumerasa Andi yang sekarang sangat berbeda jauh dengan Andi yang kemarin baru saja menelponku, sekarang dia lebih terlihat begitu rapuh dan kesepian.
Tak kusadari, akupun ikut meneteskan air mata. Hingga membuat Andi balik menatapku. Dia menghapus air mataku, aku tersenyum.
“seharusnya aku yang menghapus air matamu.”kataku sedikit malu.
“seorang lelaki tidak butuh orang lain untuk menghapus air matanya sendiri.” katanya dengan sangat bijak.
“kau tau,Andi? Semua yang kau bicarakan dalam situasi seperti ini terdengar bijak.” kataku memuji.
“ya bijak bagi orang lain. Tapi buatku sendiri.. bijak itu tidak pernah terwujud.”
“kenapa kau berkata seperti itu?” tanyaku bingung.
“aku selalu memberi nasehat ke orang lain, tapi nasehat itu justru tak pernah kutujukan ke diriku.”
“kalo begitu, kenapa tidak mendengar nasehat dari orang lain?” usulku merasa cerdas. Dengan tatapan heran Andi menatapku.
“kau tau bahwa Tuhan punya rencana bagi umatnya. Kita tak pernah tau apa yang akan terjadi. Dan percayalah di setiap musibah yang terjadi, ada hikmah yang tersembunyi.” kataku tersenyum tenang.
Andi tersenyum mendengar perkataanku sepertinya dia tak percaya, seorang Rini bisa berkata seperti itu.
“hey kenapa kau tidak bergabung denganku dalam aksi sosialku?” ajakku yang berharap dia mengiyakannya.
“tidak.” jawabnya.
“kenapa?” tanyaku dengan wajah memelas dan nada merengek.
“jangan menatapku seperti itu. Itu membuatku merasa aneh.” dia menjawab lari dari yang kupertanyakan.
“kau belum menjawab pertanyaanku..?” kali ini dengan tampang 3x lebih memelas.
“kau mengulanginya lagi. Sudah kubilang hentikan itu, kau membuatku merasa aneh.” diulanginya lagi perkataannya.
“apa?? Mengulangi apa?? Dan kenapa kau merasa aneh?” tanyaku masih dengan tampang memelas.
“tatapanmu itu. Dan juga nada bicaramu itu..terdengar seperti kau sedang merengek pada kekasihmu saja.” aku terdiam mendengar perkataannya.
“untuk saat ini aku belum siap. Tapi jika aku sudah siap, akan kuiyakan ajakanmu.”
“karna perasaanmu yang merasa bersalah atas kejadian yang menimpa orang tuamu? Dan apa karna ini juga kau mesti pindah ke kost Edi” tanyaku to the point.
“entahlah.“ singkatnya.
“tapi kalo aku minta bantuan dalam aksi sosialku, bisa kan?” tanyaku.
“ya, selagi itu tidak merepotkanku.” hanya itu yang kudengar sebelum percakapan kami berakhir.***
“woi,Ed. Dari tadi nelpon aja, knapa emangnya?” tanyaku saat kutelpon balik dia.
“Rin, aku bisa minta tolong gak? Gini, tadi si Andi minta tolong dijemput kerumahnya. Cuma mendadak aku ada callingan nih. apa kau bisa menjemputnya? Ntar kukasih tau alamatnya deh.” jelas Edi panjang lebar.
“eh... gimana ya?” tanyaku meragu.
“bisa ya.. ntar kukasih tau ke Andi kalo kau yang menjemputnya. Ntar kuganti deh uang minyaknya.” sogok edi.
“okey. Smsin aja alamatnya ya.. aku lagi mandi nih.” kataku seraya menutup pembicaraan kami.
Selesai mandi dan bersiap-siap, aku segera menuju alamat yang di smskan Edi untuk menjemput Andi. Aku yang sudah di depan pintunya mendadak nyaliku menciut. Kubalikkan badan, mengurungkan niat. Tak berapa lama, pintu itu terbuka. Langkahku terhenti.
“hey, sedang apa kau disitu?” tanya orang itu. Kubalikkan badanku, ternyata Andi.
“kau sendiri sedang apa disitu?” kubalik tanya.
“ini rumahku.” singkatnya.
“oo..rumahmu, kukira tadi aku sudah dirumahku.” sahutku bingung mau jawab apa.
“sejak kapan rumahmu menjadi rumahku?” mendengar dia berkata seperti itu, aku diam mematung dengan kepala tertunduk malu.
“kau tidak mau masuk ke dalam? Edi udah bilang koq kalo kau yang jemput aku.” candanya dengan wajah tersenyum setengah hati. Aku mengernyitkan alisku, melihat ekspresiku dia hanya membuka pintu selebar-lebarnya.
Kulangkahkan ringan kakiku. Kuperhatikan sekeliling ruang tamunya. Sepi, tak ada siapa pun.
“aku tau apa yang ada di pikiranmu. Aku tinggal sendiri di sini.” katanya mulai membuka obrolan.
“sendiri? Orang tuamu?” tanyaku membuat raut wajahnya berubah.
“mereka sudah meninggal.” katanya dengan nada datar. Kudekati dia yang duduk di kursi piano yang ada di ujung ruang tamu.
“maaf. Aku nggak tau.” kataku menyesal.
“kau mau kuajari main piano?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“aku nggak tau kalau kau bisa main piano.” jawabku mengikuti alur pembicaraannya.
Kududuk di sampingnya, dengan perlahan Andi mulai memainkan jemarinya. Nada yang tercipta begitu merdu. Kupandangi dia yang tetap memainkan jemarinya dengan tenang. Dia menutup matanya seolah merasakan irama yang tercipta lebih mendalam. Kupandangi wajahnya yang tenang. Alisnya yang tertata rapi, dagunya yang panjang . Senyumnya indah.
“ternyata kau tampan juga saat tersenyum.” kataku menghentikannya memainkan piano.
“apa kau bilang?” tanyanya, menatap mataku. Aku tersenyum padanya, balik dia tersenyum padaku. Dengan jarak yang tak kurang dari sejengkal ini, aku bisa merasakan ketenangan di matanya. Paling tidak untuk saat ini.
“kau tau? Ibuku selalu bahagia ketika melihatku memainkan piano ini. Katanya seakan mendengar alunan irama dari surga.” katanya, memalingkan wajahnya.
“aku percaya itu.” kataku memberi respon.
“berbeda dengan ayahku.. kami selalu bersaing untuk mendapat pujian dari ibuku.”
“boleh aku tau, bagaimana mereka meninggal?” tanyaku dengan nada rendah. Andi menatapku, aku takut.. apa aku baru saja salah ngomong..
“ceritanya panjang..” katanya dengan suara lirih.
“aku punya banyak waktu.” kataku bersemangat.
“kecelakaan yang kurasa terjadi karna aku. Saat itu, aku ingin dibelikan satu set lengkap peralatan musik. Aku bersikeras agar mereka membelikannya untukku. Setelah itu mereka berdua pergi menuju toko alat musik, mereka membelinya. Tapi sebuah kecelakaan beruntun terjadi saat mereka hendak pulang. Herannya, alat musik itu masih utuh sampai dirumah tapi tidak kedua orangtuaku yang hanya tinggal jenazah. Jenazah yang terbujur kaku di dalam peti mati. Seharusnya saat itu aku tak harus egois...” dengan berurai air mata dia menceritakan semuanya. Kumerasa Andi yang sekarang sangat berbeda jauh dengan Andi yang kemarin baru saja menelponku, sekarang dia lebih terlihat begitu rapuh dan kesepian.
Tak kusadari, akupun ikut meneteskan air mata. Hingga membuat Andi balik menatapku. Dia menghapus air mataku, aku tersenyum.
“seharusnya aku yang menghapus air matamu.”kataku sedikit malu.
“seorang lelaki tidak butuh orang lain untuk menghapus air matanya sendiri.” katanya dengan sangat bijak.
“kau tau,Andi? Semua yang kau bicarakan dalam situasi seperti ini terdengar bijak.” kataku memuji.
“ya bijak bagi orang lain. Tapi buatku sendiri.. bijak itu tidak pernah terwujud.”
“kenapa kau berkata seperti itu?” tanyaku bingung.
“aku selalu memberi nasehat ke orang lain, tapi nasehat itu justru tak pernah kutujukan ke diriku.”
“kalo begitu, kenapa tidak mendengar nasehat dari orang lain?” usulku merasa cerdas. Dengan tatapan heran Andi menatapku.
“kau tau bahwa Tuhan punya rencana bagi umatnya. Kita tak pernah tau apa yang akan terjadi. Dan percayalah di setiap musibah yang terjadi, ada hikmah yang tersembunyi.” kataku tersenyum tenang.
Andi tersenyum mendengar perkataanku sepertinya dia tak percaya, seorang Rini bisa berkata seperti itu.
“hey kenapa kau tidak bergabung denganku dalam aksi sosialku?” ajakku yang berharap dia mengiyakannya.
“tidak.” jawabnya.
“kenapa?” tanyaku dengan wajah memelas dan nada merengek.
“jangan menatapku seperti itu. Itu membuatku merasa aneh.” dia menjawab lari dari yang kupertanyakan.
“kau belum menjawab pertanyaanku..?” kali ini dengan tampang 3x lebih memelas.
“kau mengulanginya lagi. Sudah kubilang hentikan itu, kau membuatku merasa aneh.” diulanginya lagi perkataannya.
“apa?? Mengulangi apa?? Dan kenapa kau merasa aneh?” tanyaku masih dengan tampang memelas.
“tatapanmu itu. Dan juga nada bicaramu itu..terdengar seperti kau sedang merengek pada kekasihmu saja.” aku terdiam mendengar perkataannya.
“untuk saat ini aku belum siap. Tapi jika aku sudah siap, akan kuiyakan ajakanmu.”
“karna perasaanmu yang merasa bersalah atas kejadian yang menimpa orang tuamu? Dan apa karna ini juga kau mesti pindah ke kost Edi” tanyaku to the point.
“entahlah.“ singkatnya.
“tapi kalo aku minta bantuan dalam aksi sosialku, bisa kan?” tanyaku.
“ya, selagi itu tidak merepotkanku.” hanya itu yang kudengar sebelum percakapan kami berakhir.***